Tugas Kelompok
Mata Kuliah :
Studi Kemasyarakatan Indonesia
GENDER DAN PEMBANGUNAN
Diajukan Sebagai
Proses Untuk Menyelesaikan Salah Satu Tugas Makalah
Pada Mata
Kuliah Studi Kemasyarakatan Indonesia
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
Rezky
Juniarsih Nur 10538324815 2015
JURUSAN
PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah, pemilik alam raya. Untaian dzikir lewat kata indah terucap sebagai ungkapan rasa syukur penulis
kepada Sang khaliq, sebagai Zat pemberi nikmat kesehatan dan kesempatan bagi
penulis untuk menyelesaikan Makalah ini dengan Judul Gender dan Pembangunan. Salam dan shalawat tercurah
kepada Kekasih Allah, Nabiyullah Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya
serta ummat yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan teristimewa penulis
ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga penulis yang telah
memberikan perhatian, curahan kasih, motivasi, kepercayaan dan doa yang tiada
henti-hentinya demi kesuksesan penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada segenap teman-teman
yang telah meluangkan waktunya untuk menyelesaikan makalah ini.
Semoga penulisan
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama pribadi penulis sendiri.
Billahi
fii sabililhaq
Fastabiqul
khaerat!
Assalamu’alaykum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar,
24 Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender............................................................................ 3
B. Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan........................ 5
C. Hubungan Gender Dan Pembangunan............................................. 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembangunan merupakan isu penting yang tidak pernah berhenti dibahas baik
di Negara terbelakang, Negara berkembang, sampai dengan Negara maju. Walaupun
konteks yang dibicarakan dan cara yang digunakan mereka berbeda-beda,
akan tetapi pada dasarnya tujuan yang diharapkan semua sama, yakni membawa
negaranya masing-masing dari keadaan sebenarnya saat ini menuju keadaan
normatif yang dianggap lebih baik. Hal ini seperti pendapat Kantz (1971) [1],
pembangunan merupakan suatu proses perubahan pokok pada masyarakat dari
suatu keadaan nasional tertentu menuju ke keadaan lain yang dianggap lebih
bernilai.
Dalam hal pembangunan sering sekali dibahas mengenai persamaan gender dalam
pembangunan, dimana fokus utama yang dimaksudkan adalah bagaimana melibatkan
perempuan di dalam pembangunan seagaimana laki-laki. Permasalahan ini menurut
kaum feminis disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia perempuan
itu sendiri[2], tentu saja
rendahnya sumber daya ini juga karena kurang terbukanya akses perempuan dalam
hal perbaikan sumber daya, hal ini menyebabkan kaum perempuan tidak dapat
bersaing dengan kaum laki-laki di dalam pembangunan.
Dengan adanya banyak fenomena yang muncul terkait dengan masalah gender dan
munculnya dua kubu yang sangat menghendaki adanya persamaan dan keadilan
gender, untuk titik ekstrim disebut sebagai kaum feminis, dan kaum yang
berkehendak untuk tetap membedakan gender antara laki-laki dengan perempuan,
untuk titik ekstrim mereka disebut sebagai kaum anti-feminisme, maka
penyusun akan membahas lebih mendalam permasalahan gender tersebut dalam paper
ini.
Pembangunan negara dilakukan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Akan
tetapi, sampai saat ini masih dirasakan adanya ketidakseimbangan pembagian
peran dalam pembangunan negara tersebut, dalam hal ini adalah pembagia peran
antara laki-laki dengan peran perempuan. Banyak beranggapan bahwa wanita
terlalu diberi porsi yang sangat kecil dan termarginalkan karena kemampuannya
cenderung untuk diragukan.
Secara lebih rinci, di dalam paper ini akan dibahas beberapa hal mengenai
gender dan kaitannya dengan pembangunan, yakni pengertian gender, perbedaan
gender: (bagi laki-laki dan perempuan), implikasi perbedaan gender pada
perempuan, hubungan gender dengan pembangunan, permasalahan gender dalam
pembangunan, serta solusi pemecahan masalah gender dalam pembangunan. Selama
ini kebanyakan orang menyamaartikan antara gender dengan jenis kelamin. Hal itu
sebenarnya keliru karena pada dasarnya gender berbeda dari jenis kelamin
biologis. Oleh karena itu, dalam makalah
ini penyusun juga akan berusaha meluruskan kekeliruan tersebut dengan membahas
perbedaan dari gender dan jenis kelamin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan Gender?
2.
Bagaimanakah Perbedaan
Gender Antara Laki-laki dan Perempuan?
3.
Bagaimankah hubungan gender
dan pembangunan?
C. Manfaat
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penulisannya adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gender.
2.
Untuk mengetahui Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan.
3.
Untuk mengetahui hubungan
gender dan pembangunan.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan
tersebut, maka manfaat penulisannya adalah sebagai bahan ilmu pengetahuan untuk
menambah wawasan mengenai gender dan pembangunan. Selain itu, makalah ini dapat
dijadikan sebagai referensi untuk penulis kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Istilah “gender” dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat dasar yang
diciptakan dan berasal dari Tuhan, dan bentukan budaya (konstruksi sosial).
Seringkali orang mencampur-adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati
(tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan
diubah. Perbedaan peran gender ini juga menjadikan orang berpikir kembali
tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada perempuan maupun
laki-laki.
Istilah Gender pertama kali di perkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasari pada pendifinisian yang bersifat
sosial budaya dengan ciri-ciri fisik biologis. Gender disini yaitu membrikan
batasan dan membedakan laki-laki dan perempuan dari ciri-ciri fisik dan
biologisnya dengan laki-laki dan perempuan dari aspek kaitannya dengan sosial
budaya.
Dalam sejarah ilmu sosial tokoh yang paling berjasa dalam mengembangka
istilah dan pengertian Gender adalah Ann Oakley (1972) yang mengartikan gender
sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenanakan pada manusia yang
dibangun oleh kebudayaan manusia. Sedangkan, Menurut BKKBN (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional):2007 Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung- jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Jadi secara singkat, Gender itu adalah perbedaan mengenai fungsi dan
peran sosial laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh lingkungan tempat kita
berada. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di
suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau tidak
sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan
demikian, Gender dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat
berubah dari waktu ke waktu.
Masih banyak terjadi ketidakjelasan batasan antara gender dan kodrat, sebagai
contoh apabila perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan
pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi ‘kodrat’. Sebenarnya, hal seperti
itu kurang tepat karena yang dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat
biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari lingkungan
seperti halnya pekerjaan. Kodrat sifatnya tetap dan tidak bisa berubah-ubah,
wanita kodratnya melahirkan, mempunyai rahim, dan perbedaan fisik biologis
lainya yang sudah menjadi ciri seorang wanita, dan laki-laki kodratnya
mempunyai jakun, dan sebagainya, adapun kemampuan untuk melaukan suatu
pekerjan, hak memilih pekerjaan, tempat dan jenis pekerjaan itu berkaitan
dengan gender.
Ketidakjelasan batasan makna atas istilah gender tersebut telah mengakibatkan
perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum
laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari
kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya
dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu. Jadi pada intinya gender itu
membahas tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial
budaya masyarakat atau pada lingkungan sosial. Dalam Webster’s New World
Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. [3]Dalam sebuah
literature disebutkan bahwa: Gender adalah seperangkat peran yang, seperti
halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita
adalah feminin atau maskulin. Peragkat perilaku khusus ini –yang mencakup
penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah
tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya- secara
bersama-sama memoles “peran gender” kita. [4]Dari
pendapat tersebut dapat diketahui bahwa gender adalah pembagian peran sosial
dalam satu lingkup masyarakat tertentu berdasarkan persepsi yang berlaku dalam
lingkup tersebut. Atau secara sederhana gender juga dapat diartikan pembagian
peran dan tingkah laku (feminin dan maskulin) berdasarkan nilai yang berlaku
dalam suatu masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan sex atau jenis kelamin adalah
pembagian manusia berdasarkan ciri-ciri fisik dengan fungsi bioogis yang
dimilikinya. Ciri-ciri tersebut seperti kumis, jenggot, penis, dan suara yang
besar bagi laki-laki dan payudara, vagina, dan suara yang kecil bagi
perempuan.Untuk lebih memperjelas perbedaan antara gender dan jenis kelamin,
berikut ini adalah tabel perbedaan antara gender dan jenis kelamin:
No
|
Aspek
|
Gender
|
Jenis Kelamin
|
1.
|
Dasar
|
Konstruksi
sosial
|
Takdir
|
2.
|
Pencirian
|
Persepsi
kultur
|
Biologis
|
3.
|
Status
yang dibentuk
|
Feminin,
maskulin
|
Perempuan,
laki-laki
|
4.
|
Jangkauan
|
Kelompok
sosial tertentu
|
Universal,
seluruh dunia
|
B. Perbedaan
Gender Antara Laki-laki dan Perempuan
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa gender tidaklah sama dengan jenis
kelamin. Jeinis kelamin lebih bersifat kodrati sedangkan gender lebih
memfokuskan pada pembagian peranan dimana suatu peran cenderung bersifat
dinamis sesuai dengan perkembangan suatu masyarkat. Akan tetapi walaupun
keduaya adalah dua hal yang berbeda namun gender dan jenis kelamin mempunyai
suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada
pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan dua
jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Perbedaan peranan sosial antara dua jenis kelamin ini mulai dibentuk sejak
dini oleh dua faktor penentu. Pertama adalah dari diri masing-masing individu
yang berdasar jenis kelamin yaitu perbedaan kadar hormonal. Perbedaan hormonal
merupakan bawaan sejak lahir dan akan nampak dengan sendirinya. Sebagai contoh
pada laki-laki cenderung bersifat keras, kasar, macho, melindungi, sedangkan
pada perempuan lebih feminin seperti lemah lembut, penyayang, lebih pasif, juga
penuh rasa iba. Kedua yaitu faktor lingkungan. Pengaruh lingkungan dapat
menyebabkan penetapan sifat-sifat khas tersebut atau sebaliknya malah
menghilangkannya. Misal seorang anak perempuan yang sejak kecil bergaul dengan
kelompok anak laki-laki di kompleksnya, hingga ia tumbuh besar menjadi seorang
yang tomboi.
Terdapat empat macam perbedaan peran
gender antara perempuan dan laki-laki menurut Linda Sudiono[7], yaitu:
- Pekerjaan. Laki-laki dianggap merupakan pekerja yang produktif, sedangkan perempuan lebih bersifat reproduktif. Produktif disini mengandung arti lebih memberikan nilai tambah suatu barang, erat kaitanya dengan pekerjaan yang membutuhkan kerja keras, sedangkan reproduktif berarti kelangsungan atau pengelolaan suatu produksi. Contohnya perempuan yang bekerja sebagai kuli pecah batu dianggap tabu karena biasanya pekerjaan tersebut dilakoni para laki-laki.
- Wilayah kerja. Laki-laki dianggap sebagai pekerja publik, sedangkan perempuan lebih kepada sektor domestik. Biasanya orang mengartikan seorang perempuan wilayah kerjanya di dapur, sumur, kasur.
- Status. Laki-laki dianggap mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dianggap sebagai aktor utama, berbeda dengan perempuan yang dianggap sebagai aktor tambahan.
- Sifat laki-laki erat kaitannya dengan maskulin seperti kuat, gagah, berani, tegas, sedangkan perempuan kaitannya dengan feminin seperti lemah lembut, penyayang, juga anggun.
Dalam konteks gender, terdapat tiga teori yang melihat perbedaan gender
tersebut. Masing-masing teori mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam
melihat perbedaan gender, yaitu feminisme kultural, teori peran institusional,
dan teori yang didasarkan pada filsafat eksistensial atau fenomenologis[8].
- Feminisme Kultural
Pada teori ini memusatkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat secara kultural, atau bagaimana perempuan berbeda dari laki-laki. Teori
ini memandang perbedaan gender berdasarkan karakter dari jenis kelamin.
Misalnya saja pada laki-laki lebih bersifat maskulin sedangkan perempuan lebih
ke feminin.
- Peran Institusional
Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai latar institusional. Dalam teori
ini yang paling menentukan adalah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.
Seperti diketahui kebanyakan laki-laki diasumsikan sebagai pekerja kasar,
sedangkan perempuan biasanya berada di lingkungan rumah tangga.
- Analisis Eksistensial dan Fenomenologis
Dalam teori ini perempuan dianggap sebagai objek sedangkan laki-laki
sebagai subjek, atau laki-laki dijadikan sebagai aktor utama sedangkan
perempuan aktor tambahan, sehingga muncullah perbedaan gender diantara keduanya.
Teori ini lebih memarginalkan perempuan sehingga derajatnya lebih rendah
daripada laki-laki. Helene dan Irigaray mengungkapkan bahwa pembebasan
perempuan sebagai orang kedua akan datang apabila mereka sanggup mengembangkan
kesadaran dan kebudayaan yang unik dalam diri mereka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagaimana perbedaan gender dengan
sex (jenis kelamin), letak sudut pandang yang sangat memegang peran,
ketika berbicara gender maka akan menghadirkan proses sosial ataupun kultural
yang berlaku sedangkan jenis kelamin merupakan kodrat tuhan yang didapat dari
mulai lahir dalam bentuk ciri biologis. Ketika jenis kelamin berbeda, maka
antara laki – laki dengan perempuan kemudian akan mengakibatkan perbedaan sikap
dan peran yang disebut sebagai perbedaan gender.
Perbedaan gender hadir karena banyak faktor, di antaranya dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau
kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara[9]. Perbedaan
ini dalam masyarakat tidak terlalu diperhatikan sepanjang perbedaan tersebut
tidak menimbulkan diskriminasi. Akan tetapi, pada kenyataannya perbedaan gender
yang berkembang pada saat ini melahirkan banyak permasalahan. Permasalahan
paling utama yang ditimbulkan yaitu mengakibatkan ketidakadilan gender (gender
inequalities). Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, mulai dari marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe
atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih
banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[10]
Marjinalisasi di sini diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.[11]
Marjinalisasi memberikan batasan kepada perempuan dengan adanya peminggiran
peran perempuan sehingga perempuan tidak lagi bisa berbuat banyak dan
beraktifitas ataupun berperan penting pada bagian masalah atau urusan tertentu.
Sebagai contoh, adanya peraturan adat bahwa anak perempuan tidak berhak
mendapatkan warisan, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam urusan pembagian
harta.
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang
dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.[12] Kaum
perempuan yang telah terkena penilaian atau anggapan tidak memiliki hak yang
sama dengan laki-laki membuat perempuan selalu memiliki kasta lebih rendah dari
laki-laki, baik disisi pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan
laki-laki lebih diutamakan dalam hal menuntut ilmu, pekerjaan, pembagian peran,
dan lain sebagainya.
Permasalahan lain adalah pemberian stereotipe terhadap kaum wanita.
Sterotipe berarti pemberian citra baku atau label/tanda kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.[13]
Ketika citra buruk yang dibuat oleh masyarakat tentang perempuan hadir, maka
sering label tersebut memberikan dampak buruk terhadap para perempuan. Dampak
tersebut separti keyakinan bahwa faktor pendorong terjadinya pemerkosaan
karena memang sikap perempuan yang memancing kaum pria, tidak ada dukungan
untuk si perempuan sebagai korban justru tekanan karena diberi label memancing
hasrat laki-laki. Contoh lain adalah peran perempuan sebagai istri hanya
sebagai pelayan suami, jadi cukup di rumah saja.
Kemudian kekerasan (violence), artinya serangan atau invasi (assault)
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.[14] Kekerasan
yang dialami wanita dapat berbentuk fisik maupun psikis. Pada umumnya kekerasan
yang dimaksud adalah kekerasan fisik. Padahal pada kenyataannya, baik
kekerasan fisik maupun kekerasan mental tersebut sebenarnya sama-sama berbahaya
karena kekerasan secara fisik akan menimbulkan sakit atau di tubuh yang juga
membekas secara mental, sedangkan kekerasan psikis akan selalu memberikan bayangan
buruk pada seseorang hingga tidak berani melakukan apapun.
Ketidakadilan yang sangat umum terjadi namun kurang begitu disadari adalah
beban ganda (double burden). Artinya, beban pekerjaan yang diterima oleh
satu pemeran gender dengan yang lain memiliki porsi lebih banyak dan tida
seimbang.[15]
Ketidakadilan gender dalam bentuk peran ganda ini berlaku ketika seorang wanita
bekerja dan memiliki karir tertentu. Perempuan yang memiliki peran karir atau
kerja juga diwajibkan mengurus rumah, bila tidak maka dipandang tidak wajar,
sehingga peran mereka menjadi ganda. Hal tersebut tentu saja memberikan dampak
memberatkan bagi pihak wanita yang terkadang hal tersebut juga menekan pikiran
pihak perempuan.
Hal yang berlaku dalam mayarakatn masyarakat, meskipun perbedaan gender
sudah dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi terkadang tetap saja memberi
kerugian kepada satu pihak tertentu. Contoh yang sering terjadi adalah bahwa
perempuan selalu dianggap cengeng, emosional, perempuan tempatnya didapur,
lemah, dan oleh sebab itu sering terjadi kekerasan terhadap perempuan terutama
di dalam lingkungan rumah tangga. Jika perempuan bekerja, maka itu ditujukan hanya
untuk mencari nafkah tambahan, karena laki – laki dipandang sebagai pencari
nafkah utama. Debgan demikian terjadilah penanggunganganda sekaligus, yakni
beban bekerja dan beban urusan rumah tangga. Perempuan memikul beban berlipat,
meski mereka bekerja disektor publik, tetapi pekerjaan mereka dalam keseharian
tidak berkurang, inilah yang menyebabkan beban ganda pada perempuan. Perempuan
juga sering kali menjadi objek ‘keisengan’
C. Hubungan
Gender dengan Pembangunan
1.
Isu gender dalam pembangunan
Mencuatnya isu gender lebih disebabkan kerena gertakan dari kaum feminisme,
namun pembangunan tetaplah hal yang universal. Oleh karena itu, bila tuntutan
tersebut hanya mengacu pada substansi perempuan, maka akan menjadi pertanyaan
balik bagi kaum laki-laki, kaum laki-laki akan menuntut hal yang sama. Oleh
karena itu, maka gender merupakan suatu hal yang harus dipandang secara
keseluruhan dalam pembangunan[16].
Apabila dibayangkan, hubungan antara gender dengan pembangunan terasa masih
membingungkan. Padahal, bagaimanapun metode dan konsep pembangunan pasti
akan diikuti atau berpengaruh pada kehidupan baik spesifik pada laki-laki,
perempuan, atau keduanya. Oleh karena itu, pembahasan gender dengan
pembangunan bukanlah hal yang dapat diapresiasi dengan sikap skeptis. Isu
gender merupakan suatu isu yang menuntut keadilan konstruksi sosial maupun
kultural antara kaum laki-laki dengan perempuan. Dalam tuntutan konstruksi ini,
keseimbangan fungsi, status, dan hakekat antar jenis kelamin diharapkan dapat
direalisasikan. Sebaliknya, pembangunan merupakan suatu konstruksi perubahan
yang terjadi di masyarakat dari kondisi sosio-kultural tertentu menuju ke arah
sesuatu yang dianggap lebih bernilai[17]. Selain itu
dapat juga diartikan sebagai usaha pengentasan keterbelakangan. Oleh karena itu
semua, gender dan pembangunan adalah suatu korelasi timbal balik antara satu
dengan yang lain.
Kesejahteraan merupakan tujuan utama dari adanya pembangunan. Substansi
dari kesejahteraan salah satunya dengan adanya keadilan. keadilan sendiri
bukanlah hal yang dapat dengan mudah diperhitungkan secara matematis. Keadilan
dalam ekonomi belum dapat dikatakan sebagai kesimpulan keadilan, melainkan baru
sebatas substansi keadilan. Untuk itu, aspek manusia tidak dapat diabaikan,
karena sudah hakekat manusia sebagai homo politicus. Lantas, pertanyaan
yang muncul adalah tentang bagaimana cara pembenahan bila dari segi manusia
dalam bersosial tidak ada kesejahteraan?. Mencoba mendalami isu ini, maka
muncul pertanyaan baru, yakni apakah pembangunan yang tujuan utamanya untuk
mencapai kesejahteraan mengabaikan atau hanya sekilas mengintip masalah
gender?. Inilah yang selalu dipertanyakan dan dituntut oleh para aktivis
gender, khususnya kaum feminisme.
Melihat fakta yang ada selama ini ada, memang dapat dirasakan bahwa
pembangunan yang dilakukan hanyalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak
kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi tujuan utama dari pembangunan dirubah
menjadi unsur pembangunan. Pembangunan sampai dewasa ini lebih meningkatkan
dari segi infrastruktur dan ekonomi. Sektor keseimbangan dalam hal ini gender
kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan bahwa terdapat suatu penyimpangan dalam
konsep pembangunan. Pembangunan yang terjadi hanya sedikit yang berlandaskan
untuk kesejahteraan dan kebanyakan pembangunan akan tersus digencarkan guna
mengikuti dan menyamai perkembangan zaman oleh bangsa-bangsa dunia ketiga
kepada bangsa-bangsa maju. Mungkin, logika seperti ini dapat menjadi salah
satu kritik atas pembangunan pada dunia ketiga.
2.
Bias Gender dalam
partisipasi pembangunan
Tindakan yang bersinggungan pada orang lain adalah partisipasi. Sedemikian
sederhana inti dari partisipasi. Namun demikian, hal tersebut akan bertambah
rumit dan kompleks bila sudah tercampur urusan serba politik. Gambaran politik
di sini bukan dipandang dari sudut tata pemerintahan dan kenegaraan, melainkan
lebih pada wacana mengenai kekuasaan, kewenangan, dan pengaruh. Gender
sebagaimana realita di lapangan, terlintas bayangan gelap atas diskriminasi.
Diskriminasi gender dalam partisipasi lebih banyak dirasakan oleh kam feminis.
Terdapat banyak perdebatan gender mengenai siapa yang salah dan siapa yang
menjadi kawan atau lawan dalam hal partisipasi pembangunan. Pertama adalah
pendapat feminisme liberalis, mereka menganggap bahwa partisipasi dalam
pembangunan seharusnya mengikuti pada konsep struktur fungsionalisme. Para kaum
liberalis menganggap bahwa dalam pembangunan harus ada keharmonisan dan saling
melengkapi antara satu dengan yang lain. Jadi, dari kacamata feminisme
liberalis partisipasi pembangunan seharusnya dan sudah memakai aturan yang
sedemikian rupa. Apabila ia merasa terdiskriminasikan maka itu merupakan
kesalahan yang ia lakukan sendiri. Artinya, adanya partisipasi adalah hasil
dari kemauan dari seorang partisipan sendiri, bukan dari pihak lain yang
menyuruh atau menghalangi berpartisipasi.[18]
Pendapat kedua bersal dari Feminisme Radikalis. Kaum ini tersirat hanya
berfikir pragmatis dalam menghadapi suatu masalah. Terbukti dalam melihat
partisipasi dalam pembangunan yang mana kebanyakan kaum perempuan (feminis)
lebih banyak terpinggirkan, semua kesalahan dan penyebab diletakan pada faktor
seks. Kesalahan mutlak dibebankan pada laki-laki. Oleh karena itu, prinsip yang
mereka ajukan dalam berpartisipasi pembangunan adalah dengan menghancurkan
hegemoni patriokal.
Setelah radikalis, muncul aliran baru yang mana pendapat ini lebih banyak
diterima yakni feminisme sosialis. Mereka memang secara sadar juga meletakan
faktor hegemoni patriokal sebagai suatu penyebab yang mana dikawinkan dengan
analisi kelas dari teori marxis[19].
Menyinggung kembali mengenai hegemoni patriokal, dalam pandangan sosialis
memang hal tersebut sepatutnya diredam. Namn demikian tidak secara ekstrim
seperti radikalis, sosialis lebih menuntut pada mekanisme struktur yang mna
seharsnya ada suat keterbukaan yang harus disediakan bagi kaum feminis.
Terlebih konsep struktur yang mereka ambil dari paham marxisme, yakni suatu
dominasi kapitalis sebaiknya tidak ada dan yang ada adalah suatu hidup bersama
tanpa ada dominasi.
Lantas, dilain pihak bagaiman dengan kam masklinisme?. Secara posisi mereka
lebih diuntungkan dari pada pihak perempuan. Banyak dan mudah mereka menembus
mekanisme pembangunan. Namun demikian, secara tersirat ada suatu beban yang
terus membayanginya. Beban tersebut dirasa ketika mereka ditntut untuk dapat
produktif demi memenhi kebutuhan hidup. Perasaan itu muncul ketika ia tertekan
bahwa seharusnya kaum merekalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah dari
pada kaum perempuan. Oleh karena itu, diskriminasi gender merupakan hal yang
merugikan kedua belah pihak, baik laki-laki maupn perempuan. Demikianlah
pendapat mengenai konsep partisipasi yang harus dibedayakan gender dalam
pembangunan dan masih banyak pendapat lain diluar sana mengenai konteks gender
dan pembangunan.
Lalu, partisipasi seperti apa yang seharusnya diungkit dalam pembangunan.
Pembangunan merupakan suatu konstruksi yang mengarah pada satu kehidupan yang
lebih maju. Dalam menuju proses kemajuan tersebut harus melihat pada satu aspek
yang sangat penting, yaitu keseimbangan. Dengan mengembalikan pada aspek
keadilan tentunya keseimbangan akan terwujud. Karena adanya diskriminasi
gender yang terjadi dan hal itu telah menjadi suatu label dalam hidup, maka
cara yang dilakukan untuk melakukan bias gender dengan mengubah cara pandang
pada suatu isu. Tidak perlu muluk-muluk, perubahan cukup pada suatu penghayatan
dan kepercayaan sifat dan fungsi gender. Maksudnya, antara kaum maskulin dan
feminis terbelah bukan karena ada suatu identifikasi kelompok, namun lebih pada
siapa yang saling cukup mencukupi antara satu dengan yang lain. Maka dari itu,
konsep partisipasi pembangunan adalah dengan melimpahkan pembangunan pada suatu
kebutuhan dari masing-masing gender yang mana dapat terakmlasi pada suatu
program. Dengan demikian pembangunan untuk kesejahteraan dapat terlaksana
karena memang bertujuan kesejahteraan dan bukan untuk mengejar idealitas bangsa
maju. Satu hal penting, bahwa idealitas maju bukan merupakan koreksi, proyeksi,
diukur dan dibandingkan dengan negara lain, melainkan hasil kepuasan tersendiri
dari suatu negara atas kesejahteraan yang rasional. Maksudnya, ada kalanya
penafsiran kesejahteraan atas dasar skeptis terhadap lingkungan dan merasa dirinya
sudah tercukupi walau menyimpang dari konteks kesejahteraan lingkungan.
3.
WID menuju GAD
WID (Women in Development) atau Perempuan dalam pembangunan
merupakan Pendekatan kebijakan yang digunakan untuk memadukan perempuan ke
dalam kegiatan pembangunan yang dimulai pada awal 1970-an, dan selama 40 tahun
terakhir berevolusi berdasarkan pengalaman, peninjauan, dan reformulasi
strategi serta tujuan melalui beberapa tahap pendekatan berorientasi
kesejahteraan, kesejajaran, perang melawan kemiskinan, dan pendekatan
aliran-utama. Sekitar tahun 1980an, WID telah diterima dan diterapkan secara
internasional sebagai penekanan strategis dengan sasaran mencapai integrasi
perempuan dalam semua aspek proses pembangunan dan kemudian Negara-negara dunia
ketiga pun beramai-ramai memasukan agenda WID Ke dalam program pembangunan di
negaranya masing-masing.
WID yang merupakan bagian diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan
dominan bagi pemecahan persoalan dunia ke Tiga dan merupakan strategi arus
utama developmentalism tentang bagaimana mendorong partisipasi perempuan
dalam program pembangunan. Agenda utama program WID[20]adalah
bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Asumsinya,
penyebab dari keterbelakangan perempuan adalah karena mereka tidak berpartisipasi
dalam pembangunan. Disini WID menginginkan bagaimana kaum perempuan bisa
memiliki derajat yang sama atau sejajar dengan kaum laki-laki atau tidak lagi
ada kesenjangan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam berbagai
bidang pembangunan.
Namun dalam perkembangannya WID ini mengalami banyak kendala atau
kelemahan-kelemahan serta kritik-kritik dalam pengimplementasiannya.
Hasil tinjauan unit-unit masalah perempuan pemerintah yang seringkali
dengan sumber daya dibawah rata-rata dan sangat marjinal menunjukkan, bahwa
mereka telah tidak dapat secara efektif mempengaruhi kebijakan nasional atau
membawa kesejajaran gender yang tadinya dibayangkan dalam pikiran pada waktu
pendiriannya.[21] Sehingga
membuat pendekatan seperti ini tidak dapat menurunkan kesenjangan antara kaum
laki-laki dan perempuan. Proyek-proyek hanya-untuk-perempuan seringkali
dipikirkan dan didanai secara kurang, bahkan kadang-kadang dibebankan ke pundak
kaum perempuan yang telah terbebani dengan beban-kerja yang berat, hanya dengan
imbalan yang kurang pula.
Sehingga dengan adanya keadaan seperti itu, diperlukan suatu Transformasi
social, yang dimana tujuan dari Tranformasi social itu tidak hanya memperbaiki
status perempuan namun juga memperjuangkan martabat dan kekuatan perempuan.
Sehingga muncul suatu pendekatan GAD, yang dimana pendekatan itu lebih mencakup
kepada hak-hak perempuan, peranan perempuan sebagai peserta aktif, dan pelaku
pembangunan dan peranan mereka sebagai actor dengan suatu agenda khusus dalam
pembangunan.
Perbedaan antara WID dan GAD[22], pada
dasarnya, berdasarkan atas pendekatan penilaian dan penanganan posisi yang
tidak sama dari perempuan dalam masyarakat. GAD tidak
menyisihkan perempuan sebagai subyek sentral. Namun kiranya lebih,
sementara pendekatan WID difokuskan secara eksklusif pada perempuan
untuk meningkatkan posisi ketidaksejajaran perempuan, maka pendekatan GAD
mengakui, bahwa peningkatan status perempuan memerlukan analisis mengenai
hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun menyamakan pendapat dan
kerjasama laki-laki . Penekanan ditempatkan pada kebutuhan untuk
memahami cara-cara, dimana hubungan yang tidak sejajar antara
perempuan dan laki-laki dapat memberikan sumbangsih pada rentang dan
bentuk pemisahan yang akan dihadapi perempuan dalam proses pembangunan ini.
Jadi dapat dijelaskan bahwa pendekatan GAD (Gender And Development) ini tidak
hanya terpaku pada perempuan saja dalam usahanya melakukan kesetaraan serta
berperan aktif dalam pembangunan yang tanpa menghiraukan laki-laki namun dalam
pengimplementasiannya pendekatan ini memerlukan kaum laki-laki dalam
memperjuangkan kesetaraannya.
A. Hubungan permasalahan gender dan pembangunan
Pembangunan tidak hanya menjadi isu hak asasi manusia ataupun keadilan
saja, melainkan juga menjadi isu kesejahteraan untuk memperoleh keadilan. Dalam
permasalahan gender dan pembangunan banyak aktivis pembangunan melihat orang
sebagai sebuah sekelompok sasaran yang tidak mencoba untuk memahami
realitas yang berbeda dari kehidupan laki-laki dan dari kehidupan perempuan,
yang mengakibatkan adanya hubungan permasalahan dalam gender dan pembangunan.
Permasalahan-permasalahan tersebut misalnya:
1. Perempuan
dan pendidikan
Banyak
sebagian anak perempuan yang sama sekali tidak bersekolah, dimana pada saat itu
orangtua masih mempunyai pandangan bahwa anak laki-laki lebih kuat dari pada
perempuan. Anak laki-laki lebih bisa diandalkan dari pada anak perempuan.
Sehingga mereka memiliki keinginan untuk mempunyai keturunan laki-laki saja
daripada mempunyai keturunan perempuan. Dikarenakan anak laki-laki dianggap
dapat memikul tanggungjawab dan dapat melanjutkan usaha-usaha misalnya mengurus
ladang yang di garap oleh orangtuanya tersebut, serta membantu orangtua apabila
orangtua mereka sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja untuk mengurusi
ladangnya, sehingga anak laki-lakinya dapat meneruskan untuk membantu
orangtuanya mengurus ladang mereka, sedangkan anak perempuan kelak jika ia
dewasa hanya akan diam di dapur setelah itu menikah, berbeda dengan anak
laki-laki meskipun kelak dewasa dan mereka akan menikah tetapi
tanggungjawabnya tetap akan ia jalankan.
2. Perempuan
dan bekerja,
Perempuan
memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dari pada laki-laki. Perempuan
bekerja hanya dalam kategori yang paling dieksploitasi seperti pertanian dan
ibu rumah tangga. Padahal perempuan mampu untuk bekerja keras dalam kinerjanya,
namun untuk bekerja saja perempuan hanya mendapatkan upah yang sangat rendah
dari pada laki-laki, meskipun beban yang ia tanggung sama-sama berat dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Sebuah
proyek pembangunan pedesaan di negara Afrika memberikan pinjaman yang tersedia
untuk laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mengembangkan pertanian
kecil. Ini merupakan tanggapan atas penilaian kebutuhan yang menemukan bahwa
pertanian di daerah yang dibutuhkan beberapa penanaman modal untuk menjadi
produktif. Ketika sebagian besar proyek-proyek ini gagal, penyandang dana
menyelidiki dan menemukan bahwa pinjaman tersebut tidak digunakan untuk
pertanian, atau jika digunakan itu untuk hal-hal yang tidak pantas. Mereka juga
menemukan pertanian yang sebenarnya dilakukan oleh perempuan dan sebagian besar
orang pergi untuk bekerja di kota-kota. Namun pinjaman tersebut dibuat untuk
para pria dan, karena peran tradisional mereka sebagai kepala keluarga, mereka
bisa membuat keputusan tentang bagaimana menggunakan uang.
Sebuah
analisis gender dilakukan dan mengatasi masalah – menjadi jelas bahwa perempuan
petani, memiliki sedikit suara dalam rumah tangga atau masyarakat. Pinjaman
kepada perempuan, layanan dukungan dan forum untuk membuat keputusan kolektif
didirikan dan uang itu digunakan untuk menghidupkan petani miskin yang hampir
tidak selamat menjadi lebih produktif.
Seperti yang
telah dijelaskan bahwa ada beberapa hubungan antara masalah gender dan pembangunan
seperti masalah perempuan dengan pendidikan serta masalah perempuan dengan
lapangan pekerjaan. Dari masalah gender tersebut dapat kita lihat bahwa pada
kenyataannya, peran dan kesempatan perempuan dalam memperoleh pendidikan dan
memperoleh pekerjaan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum pria.
Sehingga partisipasi perempuan dalam pembangunan juga masih kurang.
Permasalahan
gender tersebut memang telah ada sejak zaman dahulu, namun, bukan berarti
permasalahan kesetaraan gender tidak dapat terselesaikan. Terdapat beberapa
solusi yang dapat menjadi alternative untuk menyelesaikan masalah gender ini
yaitu salah satunya dengan melibatkan pemerintah/negara dalam menyeleasiakan
masalah gender itu sendiri, yakni:
1.
Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan
pendidikan.
Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di suatu Negara, tentunya mempunyai tanggung jawab
yang besar untuk mewujudkan kesetaraan gender di Negara yang dipimpinnya.
Bentuk peran pemerintah dalam masalah ini dapat berupa intervensi publik
seperti mengontrol dan mengawasi, mensubsidi, mendorong dan mengatur, melarang
dan menghukum serta menyediakan layanan.
Sedangkan di dunia pendidikan
pemerintah bisa melakukan investasi atau memberikan subsidi dan mengajak pihak
lain untuk melakukan investasi dibidang pendidikan khususnya yang berkaitan
dengan peningkatan mutu pendidikan perempuan. Misalnya pemerintah memberikan
subsidi kepada sekolah khusus perempuan dan lembaga pelatihan keterampilan
khusus perempuan agar tercipta kesetaraan gender dimasyarakat. Karena secara
tidak langsung, bila mutu pendidikan dan keterampilan perempuan semakin
ditingkatkan maka para perempuan yang telah mendapatkan pendidikan dan
keterampilan tersebut dapat berkerja sesuai keterampilan yang mereka dapatkan.
Dan dengan begitu tingkat partisipasi perempuan didalam pembangunan akan
meningkat dan diharapkan akan tercipta kesetaraan gender antara perempuan dan
laki-laki.
2.
Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan
bekerja
Kasus permasalahan gender yang
terjadi di Afrika merupakan contoh kecil dari permasalahan gender dibidang
pekerjaan yang sedang terjadi di dunia saat ini. Di Indonesia sendiri kasus
gender dibidang pekerjaan sangatlah bervariatif diantranya yaitu besarnya
tingkat pengangguran perempuan dibandingkan pengangguran laki-laki serta upah
buruh perempuan yang lebih kecil dibandingkan upah buruh laki-laki.
Untuk menyelesaikan masalah
tersebut, maka sangat dibutuhkan intervensi dari pemerintah. Karena dengan
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah dapat membuat UU yang
mengatur tentang ketentuan kriteria pekerjaan berdasarkan pada keterampilan
bukan berdasarkan pada jenis kelamin selain itu pemerintah juga dapat
menentukan standar upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang dilakukan bukan
berdasarkan jenis kelamin. Peraturan tersebut tentunya ditunjukan kepada pihak
perusahaan baik milik swasta ataupu milik Negara. Dengan begitu,
pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan hukuman kepada perusahaan yang
melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin
maka dapat dipastikan kesetaraan gender di bidang tenaga kerja akan terwujud
dengan sendirinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gender yang terkait dengan tingkah laku dan pembagian fungsi ke dalam
bentuk feminin dan maskulin berbeda dengan jenis kelamin yang lebih
mengklasifikasikan manusia berdasarkan struktur dan ciri biologis. Akan tetapi
walaupun keduaya adalah dua hal yang berbeda, namun gender dan jenis kelamin
mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai fokus
pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan
dua jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Di seluruh belahan penjuru dunia manapun masih banyak sekali permasalahan
persamaan dan keadilan gender dan pihak yang dirugikan selalu saja perempuan.
Bentuk permasalahan tersebut seperti marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban
kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran
gender. Oleh karena itu muncullah keum feminis yang berusaha untuk
mensejajarkan peran perempuan dengan peran laki-laki.
Persamaan gender dalam pembangunan adalah suatu hal yang sangat penting
dalam keberlangsungan hidup suatu Negara. Hal ini terjadi karena bagaimanapun
juga pembangunan Negara adalah hak dan tanggung jawab setiap warganya tanpa
terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, jika selama ini banyak anggapan
bahwa kaum wanita yang memiliki peran feminin itu tidak penting dalam
pembangunan suatu Negara adalah suatu pandangan yang keliru. Bahkan dalam agama
Islam diajarkan bahwa wanita adalah tiang Negara yang mana menentukan
tegak-rubuhnya Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam
pembangunan sangatlah penting bahkan lebih penting daripada laki-laki karena
perempuanlah pihak yang melahirkan serta mendidik generasi-generasi pembangun
Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1998. “Kebijakan ADB mengenai Gender dan
Pembangunan”. Asian Development Bank.
Anonymous. T.th. “Gender dan pembangunan”. www.google.com. Diakses
pada tanggal 14 Mei 2011, pukul 20.32 WIB.
Anonymous.
T.th http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/GovBrief/GovBrief0624.pdf . Diakses pada tanggal 14 Mei 2011,
pukul 20.45 WIB.
Anonymous.
T.th. http://www.unja.ac.id/ppg/ppgunduh/konsep%20teori%20gender.ppt. Diakses pada 14 Mei 2011, pukul
20.50 WIB.
Anonymous.
T.th . http://www.scribd.com/doc/40055665/Konsep-Dan-Teori-Gender. Diakses pada 14 Mei 2011, pukul
21.00 WIB.
Fakih,
Mansour. 1996. “Menuju Dunia yang Lebih Adil Melalui Perspektif Gender: Sebuah
Pengantar“ dalam Mosse, Julia Cleves.1996. . Gender dan Pembangunan
(versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a Chance).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
. 1996.
Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Offset.
Hardiman,
Margaret. 1999. The Social Dimensions of Development. New York : John
Wiley&Sons Inc.
Sudiono,
Linda. Handout dan Outline Sekolah Feminis Untuk Kaum Muda #2 Jaringan Nasional
Perempuan Mahardika (Yogyakarta, 2009) hal.3 dikutip dari http://kman.fisipol.ugm.ac.id/index.php/2011/04/04/pra-diskusi-mkkp-gender-tak-ubahnya-sebuah-gender/ diakses pada hari Minggu, Tanggal
15 Mei 2011, pukul 20.31.
Mosse, Julia
Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half
The World, Half a Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sumayku,
Greety R. T. th. “Peranan Pejabat perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender
”. Prop. Sulut: Tidak diterbitkan.
Sunaryo,
Bambang. 2004. Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Jurusan Manajemen dan
Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada, Tanggal 07 Maret 2011. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
[1] Sunaryo, Bambang. 2004. Materi
kuliah Perencanaan Pembangunan Jurusan Manajemen Kebijakan Publik, Universitas
Gadjah Mada, tanggal 07 Maret 2011. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
[2] Pendapat Dr. Mansour Fakih dalam
“Menuju Dunia yang Lebi Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar”,
pengantar buku Gender dan Pembangunan.
[4] Lihat Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender
dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a
Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset., hal. 3.
[5]Sunaryo, Bambang. Loc. Cit.
[6] Sumayku, Greety R. T. th. “Peranan
Pejabat perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender ”. Prop. Sulut: Tidak
diterbitkan.
[7]Sudiono, Linda. Handout dan Outline
Sekolah Feminis Untuk Kaum Muda #2 dikutip dari http://kman.fisipol.ugm.ac.id/
[8]Lengerman, Patricia M dan Brantley,
Jill N dalam Ritzer, George dan Goodman, Douglas J,2004, Sociological Theory,
New York : McGraw-Hill, hal. 495-498.
[9] Dalam Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset., hal.
9.
[10] Ibid., hal 12-13.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Fakih, Mansour. Op. Cit..,
hal. 17.
[16] Lihat Mosse, Julia Cleves. Op.
Cit., hal. 28.
[17] Katz dalam Hardiman, Margaret.
1999. The Social Dimensions of Development . New York : john
wiley&sons inc., hal. 5.
[18] Fakih,Mansour. Op. Cit.,
hal. 82.
[19] Ibid., hal. 90.
[20] Asian Development Bank. 1998.
Kebijakan ADB mengenai Gender dan Pembangunan.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar