GENDER DAN PEMBANGUNAN - GORESAN PENA REZKY

sang pemimpi

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

10 November, 2018

GENDER DAN PEMBANGUNAN


Tugas Kelompok
Mata Kuliah                : Studi Kemasyarakatan Indonesia



GENDER DAN PEMBANGUNAN


Diajukan Sebagai Proses Untuk Menyelesaikan Salah Satu Tugas Makalah
Pada Mata Kuliah Studi Kemasyarakatan Indonesia

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

            Rezky Juniarsih Nur                10538324815              2015
           
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2018





 
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah, pemilik alam raya. Untaian dzikir lewat kata indah  terucap sebagai ungkapan rasa syukur penulis kepada Sang khaliq, sebagai Zat pemberi nikmat kesehatan dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan Makalah ini dengan Judul Gender dan Pembangunan. Salam dan shalawat tercurah kepada Kekasih Allah, Nabiyullah Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya serta ummat yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan teristimewa penulis ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga penulis yang telah memberikan perhatian, curahan kasih, motivasi, kepercayaan dan doa yang tiada henti-hentinya demi kesuksesan penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada segenap teman-teman yang telah meluangkan waktunya untuk menyelesaikan makalah ini.
Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama pribadi penulis sendiri.
Billahi fii sabililhaq
Fastabiqul khaerat!
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.


                                                                       
                                                                                    Makassar, 24 Juli 2018


                                                                        Penulis




DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................ i       
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................. 1      
B.     Rumusan Masalah............................................................................. 2      
C.     Tujuan Penulisan .............................................................................. 2      
D.    Manfaat Penulisan ............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gender............................................................................ 3
B.     Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan........................ 5
C.     Hubungan Gender Dan Pembangunan............................................. 10

BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................... 20


DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Pembangunan merupakan isu penting yang tidak pernah berhenti dibahas baik di Negara terbelakang, Negara berkembang, sampai dengan Negara maju. Walaupun konteks yang dibicarakan  dan cara yang digunakan mereka berbeda-beda, akan tetapi pada dasarnya tujuan yang diharapkan semua sama, yakni membawa negaranya masing-masing dari keadaan sebenarnya saat ini menuju keadaan normatif yang dianggap lebih baik. Hal ini seperti pendapat Kantz (1971) [1], pembangunan merupakan  suatu proses perubahan pokok pada masyarakat dari suatu keadaan nasional tertentu menuju ke keadaan lain yang dianggap lebih bernilai.
Dalam hal pembangunan sering sekali dibahas mengenai persamaan gender dalam pembangunan, dimana fokus utama yang dimaksudkan adalah bagaimana melibatkan perempuan di dalam pembangunan seagaimana laki-laki. Permasalahan ini menurut kaum feminis disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia perempuan itu sendiri[2], tentu saja rendahnya sumber daya ini juga karena kurang terbukanya akses perempuan dalam hal perbaikan sumber daya, hal ini menyebabkan kaum perempuan tidak dapat bersaing dengan kaum laki-laki di dalam pembangunan.
Dengan adanya banyak fenomena yang muncul terkait dengan masalah gender dan munculnya dua kubu yang sangat menghendaki adanya persamaan dan keadilan gender, untuk titik ekstrim disebut sebagai kaum feminis, dan kaum yang berkehendak untuk tetap membedakan gender antara laki-laki dengan perempuan, untuk titik ekstrim mereka disebut sebagai kaum anti-feminisme,  maka penyusun akan membahas lebih mendalam permasalahan gender tersebut dalam paper ini.
Pembangunan negara dilakukan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Akan tetapi, sampai saat ini masih dirasakan adanya ketidakseimbangan pembagian peran dalam pembangunan negara tersebut, dalam hal ini adalah pembagia peran antara laki-laki dengan peran perempuan. Banyak beranggapan bahwa wanita terlalu diberi porsi yang sangat kecil dan termarginalkan karena kemampuannya cenderung untuk diragukan.
Secara lebih rinci, di dalam paper ini akan dibahas beberapa hal mengenai gender dan kaitannya dengan pembangunan, yakni pengertian gender, perbedaan gender: (bagi laki-laki dan perempuan), implikasi perbedaan gender pada perempuan, hubungan gender dengan pembangunan, permasalahan gender dalam pembangunan, serta solusi pemecahan masalah gender dalam pembangunan. Selama ini kebanyakan orang menyamaartikan antara gender dengan jenis kelamin. Hal itu sebenarnya keliru karena pada dasarnya gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Oleh karena itu, dalam makalah ini penyusun juga akan berusaha meluruskan kekeliruan tersebut dengan membahas perbedaan dari gender dan jenis kelamin.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.    Apakah yang dimaksud dengan Gender?
2.    Bagaimanakah Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan?
3.    Bagaimankah hubungan gender dan pembangunan?

C.   Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisannya adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gender.
2.    Untuk mengetahui Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan.
3.    Untuk mengetahui hubungan gender dan pembangunan.

D.  Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan tersebut, maka manfaat penulisannya adalah sebagai bahan ilmu pengetahuan untuk menambah wawasan mengenai gender dan pembangunan. Selain itu, makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk penulis kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gender
Istilah “gender” dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat dasar yang diciptakan dan berasal dari Tuhan, dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Seringkali orang mencampur-adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah. Perbedaan peran gender ini juga menjadikan orang berpikir kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada perempuan maupun laki-laki.
Istilah Gender pertama kali di perkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasari pada pendifinisian yang bersifat sosial budaya dengan ciri-ciri fisik biologis. Gender disini yaitu membrikan batasan dan membedakan laki-laki dan perempuan  dari ciri-ciri fisik dan biologisnya dengan laki-laki dan perempuan dari aspek kaitannya dengan sosial budaya.
Dalam sejarah ilmu sosial tokoh yang paling berjasa dalam mengembangka istilah dan pengertian Gender adalah Ann Oakley (1972) yang mengartikan gender sebagai konstruksi sosial  atau atribut yang dikenanakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Sedangkan, Menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional):2007 Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung- jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Jadi secara singkat, Gender itu  adalah perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau tidak sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan demikian, Gender dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Masih banyak terjadi ketidakjelasan batasan antara gender dan kodrat, sebagai contoh apabila perempuan  mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi ‘kodrat’. Sebenarnya, hal seperti itu kurang tepat karena yang dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari lingkungan seperti halnya pekerjaan. Kodrat sifatnya tetap dan tidak bisa berubah-ubah, wanita kodratnya melahirkan, mempunyai rahim, dan perbedaan fisik biologis lainya yang sudah menjadi ciri seorang wanita, dan laki-laki kodratnya mempunyai jakun, dan sebagainya, adapun kemampuan untuk melaukan suatu pekerjan, hak memilih pekerjaan, tempat dan jenis pekerjaan itu berkaitan dengan gender.
Ketidakjelasan batasan makna atas istilah gender tersebut telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu. Jadi pada intinya gender itu membahas tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial budaya masyarakat atau pada lingkungan sosial. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. [3]Dalam sebuah literature disebutkan bahwa: Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Peragkat perilaku khusus ini –yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya- secara bersama-sama memoles “peran gender” kita. [4]Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa gender adalah pembagian peran sosial dalam satu lingkup masyarakat tertentu berdasarkan persepsi yang berlaku dalam lingkup tersebut. Atau secara sederhana gender juga dapat diartikan pembagian peran dan tingkah laku (feminin dan maskulin) berdasarkan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan sex atau jenis kelamin adalah pembagian manusia berdasarkan ciri-ciri fisik dengan fungsi bioogis yang dimilikinya. Ciri-ciri tersebut seperti kumis, jenggot, penis, dan suara yang besar bagi laki-laki dan payudara, vagina, dan suara yang kecil bagi perempuan.Untuk lebih memperjelas perbedaan antara gender dan jenis kelamin, berikut ini adalah tabel perbedaan antara gender dan jenis kelamin:
No
Aspek
Gender
Jenis Kelamin
1.
Dasar
Konstruksi sosial
Takdir
2.
Pencirian
Persepsi kultur
Biologis
3.
Status yang dibentuk
Feminin, maskulin
Perempuan, laki-laki
4.
Jangkauan
Kelompok sosial tertentu
Universal, seluruh dunia
Tabel mengacu pada pendapat Bambang Sunaryo[5] dan presentasi Greety  R. Sumayku.[6]
B.  Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa gender tidaklah sama dengan jenis kelamin. Jeinis kelamin lebih bersifat kodrati sedangkan gender lebih memfokuskan pada pembagian peranan dimana suatu peran cenderung bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan suatu masyarkat. Akan tetapi walaupun keduaya adalah dua hal yang berbeda namun gender dan jenis kelamin mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan dua jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Perbedaan peranan sosial antara dua jenis kelamin ini mulai dibentuk sejak dini oleh dua faktor penentu. Pertama adalah dari diri masing-masing individu yang berdasar jenis kelamin yaitu perbedaan kadar hormonal. Perbedaan hormonal merupakan bawaan sejak lahir dan akan nampak dengan sendirinya. Sebagai contoh pada laki-laki cenderung bersifat keras, kasar, macho, melindungi, sedangkan pada perempuan lebih feminin seperti lemah lembut, penyayang, lebih pasif, juga penuh rasa iba. Kedua yaitu faktor lingkungan. Pengaruh lingkungan dapat menyebabkan penetapan sifat-sifat khas tersebut atau sebaliknya malah menghilangkannya. Misal seorang anak perempuan yang sejak kecil bergaul dengan kelompok anak laki-laki di kompleksnya, hingga ia tumbuh besar menjadi seorang yang tomboi.
Terdapat empat macam perbedaan peran gender antara perempuan dan laki-laki menurut Linda Sudiono[7], yaitu:
  1. Pekerjaan. Laki-laki dianggap merupakan pekerja yang produktif, sedangkan perempuan lebih bersifat reproduktif. Produktif disini mengandung arti lebih memberikan nilai tambah suatu barang, erat kaitanya dengan pekerjaan yang membutuhkan kerja keras, sedangkan reproduktif berarti kelangsungan atau pengelolaan suatu produksi. Contohnya perempuan yang bekerja sebagai kuli pecah batu dianggap tabu karena biasanya pekerjaan tersebut dilakoni para laki-laki.
  2. Wilayah kerja. Laki-laki dianggap sebagai pekerja publik, sedangkan perempuan lebih kepada sektor domestik. Biasanya orang mengartikan seorang perempuan wilayah kerjanya di dapur, sumur, kasur.
  3. Status. Laki-laki dianggap mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dianggap sebagai aktor utama, berbeda dengan perempuan yang dianggap sebagai aktor tambahan.
  4. Sifat laki-laki erat kaitannya dengan maskulin seperti kuat, gagah, berani, tegas, sedangkan perempuan kaitannya dengan feminin seperti lemah lembut, penyayang, juga anggun.
Dalam konteks gender, terdapat tiga teori yang melihat perbedaan gender tersebut. Masing-masing teori mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat perbedaan gender, yaitu feminisme kultural, teori peran institusional, dan teori yang didasarkan pada filsafat eksistensial atau fenomenologis[8].
  1. Feminisme Kultural
Pada teori ini memusatkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat secara kultural, atau bagaimana perempuan berbeda dari laki-laki. Teori ini memandang perbedaan gender berdasarkan karakter dari jenis kelamin. Misalnya saja pada laki-laki lebih bersifat maskulin sedangkan perempuan lebih ke feminin.
  1. Peran Institusional
Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai latar institusional. Dalam teori ini yang paling menentukan adalah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seperti diketahui kebanyakan laki-laki diasumsikan sebagai pekerja kasar, sedangkan perempuan biasanya berada di lingkungan rumah tangga.
  1. Analisis Eksistensial dan Fenomenologis
Dalam teori ini perempuan dianggap sebagai objek sedangkan laki-laki sebagai subjek, atau laki-laki dijadikan sebagai aktor utama sedangkan perempuan aktor tambahan, sehingga muncullah perbedaan gender diantara keduanya. Teori ini lebih memarginalkan perempuan sehingga derajatnya lebih rendah daripada laki-laki. Helene dan Irigaray mengungkapkan bahwa pembebasan perempuan sebagai orang kedua akan datang apabila mereka sanggup mengembangkan kesadaran dan kebudayaan yang unik dalam diri mereka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagaimana perbedaan gender dengan sex (jenis kelamin), letak sudut pandang yang sangat memegang peran, ketika berbicara gender maka akan menghadirkan proses sosial ataupun kultural yang berlaku sedangkan jenis kelamin merupakan kodrat tuhan yang didapat dari mulai lahir dalam bentuk ciri biologis. Ketika jenis kelamin berbeda, maka antara laki – laki dengan perempuan kemudian akan mengakibatkan perbedaan sikap dan peran yang disebut sebagai perbedaan gender.
Perbedaan gender hadir karena banyak faktor, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara[9]. Perbedaan ini dalam masyarakat tidak terlalu diperhatikan sepanjang perbedaan tersebut tidak menimbulkan diskriminasi. Akan tetapi, pada kenyataannya perbedaan gender yang berkembang pada saat ini melahirkan banyak permasalahan. Permasalahan paling utama yang ditimbulkan yaitu mengakibatkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[10]
Marjinalisasi di sini diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.[11] Marjinalisasi memberikan batasan kepada perempuan dengan adanya peminggiran peran perempuan sehingga perempuan tidak lagi bisa berbuat banyak dan beraktifitas ataupun berperan penting pada bagian masalah atau urusan tertentu. Sebagai contoh, adanya peraturan adat bahwa anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam urusan pembagian harta.
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.[12] Kaum perempuan yang telah terkena penilaian atau anggapan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki membuat perempuan selalu memiliki kasta lebih rendah dari laki-laki, baik disisi pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan laki-laki lebih diutamakan dalam hal menuntut ilmu, pekerjaan, pembagian peran, dan lain sebagainya.
Permasalahan lain adalah pemberian stereotipe terhadap kaum wanita. Sterotipe berarti pemberian citra baku atau label/tanda kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.[13]  Ketika citra buruk yang dibuat oleh masyarakat tentang perempuan hadir, maka sering label tersebut memberikan dampak buruk terhadap para perempuan. Dampak tersebut separti  keyakinan bahwa faktor pendorong terjadinya pemerkosaan karena memang sikap perempuan yang memancing kaum pria, tidak ada dukungan untuk si perempuan sebagai korban justru tekanan karena diberi label memancing hasrat laki-laki. Contoh lain adalah peran perempuan sebagai istri hanya sebagai pelayan suami, jadi cukup di rumah saja.
Kemudian kekerasan (violence), artinya serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.[14] Kekerasan yang dialami wanita dapat berbentuk fisik maupun psikis. Pada umumnya kekerasan yang dimaksud adalah  kekerasan fisik. Padahal pada kenyataannya, baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental tersebut sebenarnya sama-sama berbahaya karena kekerasan secara fisik akan menimbulkan sakit atau di tubuh yang juga membekas secara mental, sedangkan kekerasan psikis akan selalu memberikan bayangan buruk pada seseorang hingga tidak berani melakukan apapun.
Ketidakadilan yang sangat umum terjadi namun kurang begitu disadari adalah beban ganda (double burden). Artinya, beban pekerjaan yang diterima oleh satu pemeran gender dengan yang lain memiliki porsi lebih banyak dan tida seimbang.[15] Ketidakadilan gender dalam bentuk peran ganda ini berlaku ketika seorang wanita bekerja dan memiliki karir tertentu. Perempuan yang memiliki peran karir atau kerja juga diwajibkan mengurus rumah, bila tidak maka dipandang tidak wajar, sehingga peran mereka menjadi ganda. Hal tersebut tentu saja memberikan dampak memberatkan bagi pihak wanita yang terkadang hal tersebut juga menekan pikiran pihak perempuan.
Hal yang berlaku dalam mayarakatn masyarakat, meskipun perbedaan gender sudah dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi terkadang tetap saja memberi kerugian kepada satu pihak tertentu. Contoh yang sering terjadi adalah bahwa perempuan selalu dianggap cengeng, emosional, perempuan tempatnya didapur, lemah, dan oleh sebab itu sering terjadi kekerasan terhadap perempuan terutama di dalam lingkungan rumah tangga. Jika perempuan bekerja, maka itu ditujukan hanya untuk mencari nafkah tambahan, karena laki – laki dipandang sebagai pencari nafkah utama. Debgan demikian terjadilah penanggunganganda sekaligus, yakni beban bekerja dan beban urusan rumah tangga. Perempuan memikul beban berlipat, meski mereka bekerja disektor publik, tetapi pekerjaan mereka dalam keseharian tidak berkurang, inilah yang menyebabkan beban ganda pada perempuan. Perempuan juga sering kali menjadi objek ‘keisengan’
C.  Hubungan Gender dengan Pembangunan
1.     Isu gender dalam pembangunan
Mencuatnya isu gender lebih disebabkan kerena gertakan dari kaum feminisme, namun pembangunan tetaplah hal yang universal. Oleh karena itu, bila tuntutan tersebut hanya mengacu pada substansi perempuan, maka akan menjadi pertanyaan balik bagi kaum laki-laki, kaum laki-laki akan menuntut hal yang sama. Oleh karena itu, maka gender merupakan suatu hal yang harus dipandang secara keseluruhan dalam pembangunan[16].
Apabila dibayangkan, hubungan antara gender dengan pembangunan terasa masih membingungkan.  Padahal, bagaimanapun metode dan konsep pembangunan pasti akan diikuti atau berpengaruh pada kehidupan baik spesifik pada laki-laki, perempuan, atau keduanya.  Oleh karena itu, pembahasan gender dengan pembangunan bukanlah hal yang dapat diapresiasi dengan sikap skeptis. Isu gender merupakan suatu isu yang menuntut keadilan konstruksi sosial maupun kultural antara kaum laki-laki dengan perempuan. Dalam tuntutan konstruksi ini, keseimbangan fungsi, status, dan hakekat antar jenis kelamin diharapkan dapat direalisasikan. Sebaliknya, pembangunan merupakan suatu konstruksi perubahan yang terjadi di masyarakat dari kondisi sosio-kultural tertentu menuju ke arah sesuatu yang dianggap lebih bernilai[17]. Selain itu dapat juga diartikan sebagai usaha pengentasan keterbelakangan. Oleh karena itu semua, gender dan pembangunan adalah suatu korelasi timbal balik antara satu dengan yang lain.
Kesejahteraan merupakan tujuan utama dari adanya pembangunan. Substansi dari kesejahteraan salah satunya dengan adanya keadilan. keadilan sendiri bukanlah hal yang dapat dengan mudah diperhitungkan secara matematis. Keadilan dalam ekonomi belum dapat dikatakan sebagai kesimpulan keadilan, melainkan baru sebatas substansi keadilan. Untuk itu, aspek manusia tidak dapat diabaikan, karena sudah hakekat manusia sebagai homo politicus. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah tentang bagaimana cara pembenahan bila dari segi manusia dalam bersosial tidak ada kesejahteraan?. Mencoba mendalami isu ini, maka muncul pertanyaan baru, yakni apakah pembangunan yang tujuan utamanya untuk mencapai kesejahteraan mengabaikan atau hanya sekilas mengintip masalah gender?. Inilah yang selalu dipertanyakan dan dituntut oleh para aktivis gender, khususnya kaum feminisme.
Melihat fakta yang ada selama ini ada, memang dapat dirasakan bahwa pembangunan yang dilakukan hanyalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi tujuan utama dari pembangunan dirubah menjadi unsur pembangunan. Pembangunan sampai dewasa ini lebih meningkatkan dari segi infrastruktur dan ekonomi. Sektor keseimbangan dalam hal ini gender kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan bahwa terdapat suatu penyimpangan dalam konsep pembangunan. Pembangunan yang terjadi hanya sedikit yang berlandaskan untuk kesejahteraan dan kebanyakan pembangunan akan tersus digencarkan guna mengikuti dan menyamai perkembangan zaman oleh bangsa-bangsa dunia ketiga kepada bangsa-bangsa maju.  Mungkin, logika seperti ini dapat menjadi salah satu kritik atas pembangunan pada dunia ketiga.

2.    Bias Gender dalam partisipasi pembangunan
Tindakan yang bersinggungan pada orang lain adalah partisipasi. Sedemikian sederhana inti dari partisipasi. Namun demikian, hal tersebut akan bertambah rumit dan kompleks bila sudah tercampur urusan serba politik. Gambaran politik di sini bukan dipandang dari sudut tata pemerintahan dan kenegaraan, melainkan lebih pada wacana mengenai kekuasaan, kewenangan, dan pengaruh. Gender sebagaimana realita di lapangan, terlintas bayangan gelap atas diskriminasi. Diskriminasi gender dalam partisipasi lebih banyak dirasakan oleh kam feminis.
Terdapat banyak perdebatan gender mengenai siapa yang salah dan siapa yang menjadi kawan atau lawan dalam hal partisipasi pembangunan. Pertama adalah pendapat feminisme liberalis, mereka menganggap bahwa partisipasi dalam pembangunan seharusnya mengikuti pada konsep struktur fungsionalisme. Para kaum liberalis menganggap bahwa dalam pembangunan harus ada keharmonisan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Jadi, dari kacamata feminisme liberalis partisipasi pembangunan seharusnya dan sudah memakai aturan yang sedemikian rupa. Apabila ia merasa terdiskriminasikan maka itu merupakan kesalahan yang ia lakukan sendiri. Artinya, adanya partisipasi adalah hasil dari kemauan dari seorang partisipan sendiri, bukan dari pihak lain yang menyuruh atau menghalangi berpartisipasi.[18]
Pendapat kedua bersal dari Feminisme Radikalis. Kaum ini tersirat hanya berfikir pragmatis dalam menghadapi suatu masalah. Terbukti dalam melihat partisipasi dalam pembangunan yang mana kebanyakan kaum perempuan (feminis) lebih banyak terpinggirkan, semua kesalahan dan penyebab diletakan pada faktor seks. Kesalahan mutlak dibebankan pada laki-laki. Oleh karena itu, prinsip yang mereka ajukan dalam berpartisipasi pembangunan adalah dengan menghancurkan hegemoni patriokal.
Setelah radikalis, muncul aliran baru yang mana pendapat ini lebih banyak diterima yakni feminisme sosialis. Mereka memang secara sadar juga meletakan faktor hegemoni patriokal sebagai suatu penyebab yang mana dikawinkan dengan analisi kelas dari teori marxis[19]. Menyinggung kembali mengenai hegemoni patriokal, dalam pandangan sosialis memang hal tersebut sepatutnya diredam. Namn demikian tidak secara ekstrim seperti radikalis, sosialis lebih menuntut pada mekanisme struktur yang mna seharsnya ada suat keterbukaan yang harus disediakan bagi kaum feminis. Terlebih konsep struktur yang mereka ambil dari paham marxisme, yakni suatu dominasi kapitalis sebaiknya tidak ada dan yang ada adalah suatu hidup bersama tanpa ada dominasi.
Lantas, dilain pihak bagaiman dengan kam masklinisme?. Secara posisi mereka lebih diuntungkan dari pada pihak perempuan. Banyak dan mudah mereka menembus mekanisme pembangunan. Namun demikian, secara tersirat ada suatu beban yang terus membayanginya. Beban tersebut dirasa ketika mereka ditntut untuk dapat produktif demi memenhi kebutuhan hidup. Perasaan itu muncul ketika ia tertekan bahwa seharusnya kaum merekalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah dari pada kaum perempuan. Oleh karena itu, diskriminasi gender merupakan hal yang merugikan kedua belah pihak, baik laki-laki maupn perempuan. Demikianlah pendapat mengenai konsep partisipasi yang harus dibedayakan gender dalam pembangunan dan masih banyak pendapat lain diluar sana mengenai konteks gender dan pembangunan.
Lalu, partisipasi seperti apa yang seharusnya diungkit dalam pembangunan. Pembangunan merupakan suatu konstruksi yang mengarah pada satu kehidupan yang lebih maju. Dalam menuju proses kemajuan tersebut harus melihat pada satu aspek yang sangat penting, yaitu keseimbangan. Dengan mengembalikan pada aspek keadilan tentunya keseimbangan akan terwujud.  Karena adanya diskriminasi gender yang terjadi dan hal itu telah menjadi suatu label dalam hidup, maka cara yang dilakukan untuk melakukan bias gender dengan mengubah cara pandang pada suatu isu. Tidak perlu muluk-muluk, perubahan cukup pada suatu penghayatan dan kepercayaan sifat dan fungsi gender. Maksudnya, antara kaum maskulin dan feminis terbelah bukan karena ada suatu identifikasi kelompok, namun lebih pada siapa yang saling cukup mencukupi antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, konsep partisipasi pembangunan adalah dengan melimpahkan pembangunan pada suatu kebutuhan dari masing-masing gender yang mana dapat terakmlasi pada suatu program. Dengan demikian pembangunan untuk kesejahteraan dapat terlaksana karena memang bertujuan kesejahteraan dan bukan untuk mengejar idealitas bangsa maju. Satu hal penting, bahwa idealitas maju bukan merupakan koreksi, proyeksi, diukur dan dibandingkan dengan negara lain, melainkan hasil kepuasan tersendiri dari suatu negara atas kesejahteraan yang rasional. Maksudnya, ada kalanya penafsiran kesejahteraan atas dasar skeptis terhadap lingkungan dan merasa dirinya sudah tercukupi walau menyimpang dari konteks kesejahteraan lingkungan.

3.    WID menuju GAD
WID (Women in Development) atau Perempuan dalam pembangunan merupakan Pendekatan kebijakan yang digunakan untuk memadukan perempuan ke dalam kegiatan pembangunan yang dimulai pada awal 1970-an, dan selama 40 tahun terakhir berevolusi berdasarkan pengalaman, peninjauan, dan reformulasi strategi serta tujuan melalui beberapa tahap pendekatan berorientasi kesejahteraan, kesejajaran, perang melawan kemiskinan, dan pendekatan aliran-utama. Sekitar tahun 1980an, WID telah diterima dan diterapkan secara internasional sebagai penekanan strategis dengan sasaran mencapai integrasi perempuan dalam semua aspek proses pembangunan dan kemudian Negara-negara dunia ketiga pun beramai-ramai memasukan agenda WID Ke dalam program pembangunan di negaranya masing-masing.
WID yang merupakan bagian diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan dominan bagi pemecahan persoalan dunia ke Tiga dan merupakan strategi arus utama developmentalism tentang bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan. Agenda utama program WID[20]adalah bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Asumsinya, penyebab dari keterbelakangan perempuan adalah karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Disini WID menginginkan bagaimana kaum perempuan bisa memiliki derajat yang sama atau sejajar dengan kaum laki-laki atau tidak lagi ada kesenjangan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan.
Namun dalam perkembangannya WID ini mengalami banyak kendala atau kelemahan-kelemahan serta kritik-kritik dalam pengimplementasiannya.  Hasil tinjauan unit-unit masalah perempuan pemerintah yang seringkali dengan sumber daya dibawah rata-rata dan sangat marjinal menunjukkan, bahwa mereka telah tidak dapat secara efektif mempengaruhi kebijakan nasional atau membawa kesejajaran gender yang tadinya dibayangkan dalam pikiran pada waktu pendiriannya.[21] Sehingga membuat pendekatan seperti ini tidak dapat menurunkan kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Proyek-proyek hanya-untuk-perempuan seringkali dipikirkan dan didanai secara kurang, bahkan kadang-kadang dibebankan ke pundak kaum perempuan yang telah terbebani dengan beban-kerja yang berat, hanya dengan imbalan yang kurang pula.
Sehingga dengan adanya keadaan seperti itu, diperlukan suatu Transformasi social, yang dimana tujuan dari Tranformasi social itu tidak hanya memperbaiki status perempuan namun juga memperjuangkan martabat dan kekuatan perempuan. Sehingga muncul suatu pendekatan GAD, yang dimana pendekatan itu lebih mencakup kepada hak-hak perempuan, peranan perempuan sebagai peserta aktif, dan pelaku pembangunan dan peranan mereka sebagai actor dengan suatu agenda khusus dalam pembangunan.
Perbedaan antara WID dan GAD[22], pada  dasarnya, berdasarkan atas pendekatan penilaian dan penanganan posisi yang tidak sama dari perempuan  dalam masyarakat.  GAD  tidak menyisihkan perempuan sebagai subyek sentral.  Namun kiranya lebih, sementara  pendekatan WID difokuskan secara eksklusif  pada perempuan untuk meningkatkan posisi  ketidaksejajaran perempuan, maka pendekatan GAD mengakui, bahwa peningkatan status  perempuan memerlukan analisis mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun  menyamakan pendapat dan kerjasama laki-laki .  Penekanan ditempatkan pada kebutuhan untuk  memahami cara-cara, dimana hubungan yang tidak sejajar antara perempuan  dan laki-laki dapat memberikan sumbangsih pada rentang dan bentuk pemisahan yang akan dihadapi perempuan dalam proses pembangunan ini. Jadi dapat dijelaskan bahwa pendekatan GAD (Gender And Development) ini tidak hanya terpaku pada perempuan saja dalam usahanya melakukan kesetaraan serta berperan aktif dalam pembangunan yang tanpa menghiraukan laki-laki namun dalam pengimplementasiannya pendekatan ini memerlukan kaum laki-laki dalam memperjuangkan kesetaraannya.

A.   Hubungan permasalahan gender dan pembangunan
Pembangunan tidak hanya menjadi isu hak asasi manusia ataupun keadilan saja, melainkan juga menjadi isu kesejahteraan untuk memperoleh keadilan. Dalam permasalahan gender dan pembangunan banyak aktivis pembangunan melihat orang sebagai sebuah sekelompok sasaran yang  tidak mencoba untuk memahami realitas yang berbeda dari kehidupan  laki-laki dan dari kehidupan perempuan, yang mengakibatkan adanya hubungan permasalahan dalam gender dan pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut misalnya:

1.      Perempuan dan pendidikan
Banyak sebagian anak perempuan yang sama sekali tidak bersekolah, dimana pada saat itu orangtua masih mempunyai pandangan bahwa anak laki-laki lebih kuat dari pada perempuan. Anak laki-laki lebih bisa diandalkan dari pada anak perempuan. Sehingga mereka memiliki keinginan untuk mempunyai keturunan laki-laki saja daripada mempunyai keturunan perempuan. Dikarenakan anak laki-laki dianggap dapat memikul tanggungjawab dan dapat melanjutkan usaha-usaha misalnya mengurus ladang yang di garap oleh orangtuanya tersebut, serta membantu orangtua apabila orangtua mereka sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja untuk mengurusi ladangnya, sehingga anak laki-lakinya dapat meneruskan untuk membantu orangtuanya mengurus ladang mereka, sedangkan anak perempuan kelak jika ia dewasa hanya akan diam di dapur setelah itu menikah, berbeda dengan anak laki-laki meskipun kelak dewasa dan  mereka akan menikah tetapi tanggungjawabnya tetap akan ia jalankan.

2.      Perempuan dan bekerja,
Perempuan memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dari pada laki-laki. Perempuan bekerja hanya dalam kategori yang paling dieksploitasi seperti pertanian dan ibu rumah tangga. Padahal perempuan mampu untuk bekerja keras dalam kinerjanya, namun untuk bekerja saja perempuan hanya mendapatkan upah yang sangat rendah dari pada laki-laki, meskipun beban yang ia tanggung sama-sama berat dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Sebuah proyek pembangunan pedesaan di negara Afrika memberikan pinjaman yang tersedia untuk laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mengembangkan pertanian kecil. Ini merupakan tanggapan atas penilaian kebutuhan yang menemukan bahwa pertanian di daerah yang dibutuhkan beberapa penanaman modal untuk menjadi produktif. Ketika sebagian besar proyek-proyek ini gagal, penyandang dana menyelidiki dan menemukan bahwa pinjaman tersebut tidak digunakan untuk pertanian, atau jika digunakan itu untuk hal-hal yang tidak pantas. Mereka juga menemukan pertanian yang sebenarnya dilakukan oleh perempuan dan sebagian besar orang pergi untuk bekerja di kota-kota. Namun pinjaman tersebut dibuat untuk para pria dan, karena peran tradisional mereka sebagai kepala keluarga, mereka bisa membuat keputusan tentang bagaimana menggunakan uang.
Sebuah analisis gender dilakukan dan mengatasi masalah – menjadi jelas bahwa perempuan petani, memiliki sedikit suara dalam rumah tangga atau masyarakat. Pinjaman kepada perempuan, layanan dukungan dan forum untuk membuat keputusan kolektif didirikan dan uang itu digunakan untuk menghidupkan petani miskin yang hampir tidak selamat menjadi lebih produktif.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa ada beberapa hubungan antara masalah gender dan pembangunan seperti masalah perempuan dengan pendidikan serta masalah perempuan dengan lapangan pekerjaan. Dari masalah gender tersebut dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya, peran dan kesempatan perempuan dalam memperoleh pendidikan dan memperoleh pekerjaan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum pria. Sehingga partisipasi perempuan dalam pembangunan juga masih kurang.
Permasalahan gender tersebut memang telah ada sejak zaman dahulu, namun, bukan berarti permasalahan kesetaraan gender tidak dapat terselesaikan. Terdapat beberapa solusi yang dapat menjadi alternative untuk menyelesaikan masalah gender ini yaitu salah satunya dengan melibatkan pemerintah/negara dalam menyeleasiakan masalah gender itu sendiri, yakni:

1.    Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan pendidikan.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di suatu Negara, tentunya mempunyai  tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan kesetaraan gender di Negara yang dipimpinnya. Bentuk peran pemerintah dalam masalah ini dapat berupa intervensi publik seperti mengontrol dan mengawasi, mensubsidi, mendorong dan mengatur, melarang dan menghukum serta menyediakan layanan.
Sedangkan di dunia pendidikan pemerintah bisa melakukan investasi atau memberikan subsidi dan mengajak pihak lain untuk melakukan investasi dibidang pendidikan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan perempuan. Misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah khusus perempuan dan lembaga pelatihan keterampilan khusus perempuan agar tercipta kesetaraan gender dimasyarakat. Karena secara tidak langsung, bila mutu pendidikan dan keterampilan perempuan semakin ditingkatkan maka para perempuan yang telah mendapatkan pendidikan dan keterampilan tersebut dapat berkerja sesuai keterampilan yang mereka dapatkan. Dan dengan begitu tingkat partisipasi perempuan didalam pembangunan akan meningkat dan diharapkan akan tercipta kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.

2.        Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan bekerja
Kasus permasalahan gender yang terjadi di Afrika merupakan contoh kecil dari permasalahan gender dibidang pekerjaan yang sedang terjadi di dunia saat ini. Di Indonesia sendiri kasus gender dibidang pekerjaan sangatlah bervariatif diantranya yaitu besarnya tingkat pengangguran perempuan dibandingkan pengangguran laki-laki serta upah buruh perempuan yang lebih kecil dibandingkan upah buruh laki-laki.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka sangat dibutuhkan intervensi dari pemerintah. Karena dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah dapat membuat UU yang mengatur tentang ketentuan kriteria pekerjaan berdasarkan pada keterampilan bukan berdasarkan pada jenis kelamin selain itu pemerintah juga dapat menentukan standar upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang dilakukan bukan berdasarkan jenis kelamin. Peraturan tersebut tentunya ditunjukan kepada pihak perusahaan baik milik swasta ataupu milik Negara.  Dengan begitu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan hukuman kepada perusahaan yang melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin maka dapat dipastikan kesetaraan gender di bidang tenaga kerja akan terwujud dengan sendirinya.


















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Gender yang terkait dengan tingkah laku dan pembagian fungsi ke dalam bentuk feminin dan maskulin berbeda dengan jenis kelamin yang lebih mengklasifikasikan manusia berdasarkan struktur dan ciri biologis. Akan tetapi walaupun keduaya adalah dua hal yang berbeda, namun gender dan jenis kelamin mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan dua jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.
Di seluruh belahan penjuru dunia manapun masih banyak sekali permasalahan persamaan dan keadilan gender dan pihak yang dirugikan selalu saja perempuan. Bentuk permasalahan tersebut seperti marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Oleh karena itu muncullah keum feminis yang berusaha untuk mensejajarkan peran perempuan dengan peran laki-laki.
Persamaan gender dalam pembangunan adalah suatu hal yang sangat penting dalam keberlangsungan hidup suatu Negara. Hal ini terjadi karena bagaimanapun juga pembangunan Negara adalah hak dan tanggung jawab setiap warganya tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, jika selama ini banyak anggapan bahwa kaum wanita yang memiliki peran feminin itu tidak penting dalam pembangunan suatu Negara adalah suatu pandangan yang keliru. Bahkan dalam agama Islam diajarkan bahwa wanita adalah tiang Negara yang mana menentukan tegak-rubuhnya Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan sangatlah penting bahkan lebih penting daripada laki-laki karena perempuanlah pihak yang melahirkan serta mendidik generasi-generasi pembangun Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1998. “Kebijakan ADB mengenai Gender dan Pembangunan”. Asian Development Bank.
Anonymous. T.th. menegpp.go.id. Diakses pada Tanggal 15 Mei 2011, pukul 15.30 WIB.
Anonymous. T.th. “Gender dan pembangunan”. www.google.com. Diakses pada tanggal 14 Mei 2011, pukul 20.32 WIB.
Anonymous. T.th http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/GovBrief/GovBrief0624.pdf . Diakses pada tanggal 14 Mei 2011, pukul 20.45 WIB.
Anonymous. T.th. http://www.unja.ac.id/ppg/ppgunduh/konsep%20teori%20gender.ppt. Diakses pada 14 Mei 2011, pukul 20.50 WIB.
Anonymous. T.th . http://www.scribd.com/doc/40055665/Konsep-Dan-Teori-Gender. Diakses pada 14 Mei 2011, pukul 21.00 WIB.
Fakih, Mansour. 1996. “Menuju Dunia yang Lebih Adil Melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar“ dalam Mosse, Julia Cleves.1996. . Gender dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
             . 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Hardiman, Margaret. 1999. The Social Dimensions of Development. New York : John Wiley&Sons Inc.
Sudiono, Linda. Handout dan Outline Sekolah Feminis Untuk Kaum Muda #2 Jaringan Nasional Perempuan Mahardika (Yogyakarta, 2009) hal.3 dikutip dari http://kman.fisipol.ugm.ac.id/index.php/2011/04/04/pra-diskusi-mkkp-gender-tak-ubahnya-sebuah-gender/ diakses pada hari Minggu, Tanggal 15 Mei 2011, pukul 20.31.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sumayku, Greety R. T. th. “Peranan Pejabat perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender ”. Prop. Sulut: Tidak diterbitkan.
Sunaryo, Bambang. 2004. Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Tanggal 07 Maret 2011. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.

[1] Sunaryo, Bambang. 2004. Materi kuliah Perencanaan Pembangunan Jurusan Manajemen Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, tanggal 07 Maret 2011. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
[2] Pendapat Dr. Mansour Fakih dalam “Menuju Dunia yang Lebi Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar”, pengantar buku Gender dan Pembangunan.
[4] Lihat Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset., hal. 3.
[5]Sunaryo, Bambang. Loc. Cit.
[6] Sumayku, Greety R. T. th. “Peranan Pejabat perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender ”. Prop. Sulut: Tidak diterbitkan.
[7]Sudiono, Linda. Handout dan Outline Sekolah Feminis Untuk Kaum Muda #2 dikutip dari http://kman.fisipol.ugm.ac.id/
[8]Lengerman, Patricia M dan Brantley, Jill N dalam Ritzer, George dan Goodman, Douglas J,2004, Sociological Theory, New York : McGraw-Hill, hal. 495-498.
[9] Dalam Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset., hal. 9.
[10] Ibid., hal 12-13.
[11] Anonymous, dalam menegpp.go.id. di akses pada 15 Mei 2011, pukul 15.30 WIB.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Fakih, Mansour. Op. Cit.., hal. 17.
[15] anonymous, dalam menegpp.go.id.
[16] Lihat Mosse, Julia Cleves. Op. Cit., hal. 28.
[17] Katz dalam Hardiman, Margaret. 1999. The Social Dimensions of Development . New York : john wiley&sons inc., hal. 5.
[18] Fakih,Mansour. Op. Cit., hal. 82.
[19] Ibid., hal. 90.
[20] Asian Development Bank. 1998. Kebijakan ADB mengenai Gender dan Pembangunan.
[21] Ibid.
[22] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages